Adapun
proses peralihan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru pasca G 30
S/PKI adalah sebagai berikut :
ü
Tanggal 10 Maret 1966, Ir. Soekarno mengadakan pertemuan antara
partai-partai politik yang membahas kondisi yang tidak kondusif pasca G 30
S/PKI. Pertemuan tersebut juga dihadiri pejabat-pejabat tinggi yakni:
1.
Dr. Subandrio
selaku Wakil Perdana Menteri I
2.
Dr. J.
Leimegna selaku Wakil Perdana Menteri II
3.
Chaerul
Shaleh selaku Wakil Perdana Menteri III
4.
Dr. Sumagno
selaku Menteri Dalam Negeri
5.
Mayjen
Ahmadi selaku Menteri Penerangan
6.
A.M. Hanafi
selaku Duta besar untuk Kuba
Namun pada saat itu, Soeharto
tidak sempat hadir karena sedang sakit. Dalam pertemuan tersebut presiden
Soekarno mengutuk Tritura dan meminta partai-partai politik untuk melakukan
tindakan terhadap aksi tritura yang berisi:
1. Turunkan harga barang
2. Bubarkan PKI
3. Bersihkan cabinet dwikora
Pendapat presiden tidak didukung
oleh partai politik yang hadir pada saat itu, sehingga pertemuan tersebut tidak
menghasilkan keputusan.
ü
Tanggal 11 maret 1966, Presiden Soekarno melakukan sidang
cabinet dwikora yang membahas kemelut politik saat itu. Sementara sidang
berlangsung, pasukan Cakrabirawa(Pasukan Pengawal Presiden ) menginformasikan bahwa
di luar istana terdapat pasukan liar. Oleh karena itu presiden sukarno bersama dengan Dr. Subandrio dan Chaerul Shaleh segera bergegas meninggalkan sidang menuju istana bogor
menggunakan helikopter. Sidangpun ditutup oleh Dr.
J. Leimegna. Setelah
presiden sukarno meninggalkan sidang, ke
3 perwira TNI AD yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigadir Jendral Muhammad
Yusuf, Brigadir Jendral Amir Mahmud menyusul presiden ke istana bogor karena
merasa bertanggung jawab atas keselamatan presiden. Sebelum berangkat mereka
terlebih dahulu meminta izin kepada mayor jendral Soeharto. kemudian mayjen
Suharto menyampaikan dua hal kepada tiga perwira TNI AD ini untuk disampaikan
kepada presiden sukarno, bahwa :
1. TNI tetap berada di belakang presiden
2. Apabila diberi kepercayaan mayjen Suharto siap untuk memulihkan
keamanan yang tidak kondusif saat ini
Setelah ke-3 TNI AD tiba di istana bogor, mereka kemudian menyampaikan
2 hal pesan mayjen Suharto ke presiden Soekarno, sehingga presiden kemudian
memerintahkan ke-3 jendral dan komandan resimen cakrabirawa Brigjen Sabur untuk
membuat konsep surat perintah kepada mayjen Suharto yang dikenal dengan nama
Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) yang intinya berisi : Memerintahkan kepada
letnan jendral Suharto atas nama presiden untuk mengambil tindakan yang di
anggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta stabiitas jalannya
pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
presiden.
ü Tanggal 12 maret 1966, Mayjen Suharto selaku pengemban SUPERSEMAR melakukan 2 tindakan,
yaitu:
1.
Menyatakan PKI sebagai organisasi
terlarang
2.
Melakukan penagkapan terhadap
tokoh-tokoh PKI
ü Tanggal 18
Maret 1966, Mayjen Suharto melakukan penangkapan
terhadap 15 menteri cabinet Dwikora yang terlibat dalam peristiwa di tahun
1965. Setelah munculnya Supersemar, di Indonesia terjadi dualisme kepemimpinan
yang berari ada dua pemimpin dalam satu Negara.
ü
Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi
Menteri Panglima Angkatan Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan
Jenderal. Pada awalnya untuk menghormati presiden, AD tetap mendukungnya. Namun
setelah presiden mengutuk G 30 S, AD mulai mengurangi dukungannya dan lebih mulai
tertarik bekerja sama dengan KAMI dan KAPPI.
ü
Pada
tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari
Presiden melalui perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah
konsep surat penugasaan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada
pemegang Supersemar.
ü
Pada 8 Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut
dibicarakan bersama empat panglima angkatan bersenjata.
ü
Disaat belum
tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara dan
semakin bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari 1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum
kepada MPRS agar sidang Istimewa dilaksanakan.
ü
Tanggal 10 Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepad presiden
Soekarno untuk membicarakan masalah negara.
ü
Pada tanggal 11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa
digunakan untuk mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang
pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah
kepada pemegang Supersemar sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966,
presiden kemudian meminta waktu untuk mempelajarinya.
ü
Pada tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali
dengan presiden, presiden tidak dapat
menerima konsep tersebut karena
tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan.
ü
Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk
membicarakan konsep yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden
ü
Pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden
setelah diadakan sedikit perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan
kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.
ü
Pada tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara,
presiden /Mendataris MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah
menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar yaitu
Jend.Soeharto.
ü
Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam
rangka mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat
Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden RI.
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda dengan Menggunakan Kata-kata yang Bijak dan Sopan (No Porno, No Iklan, No Spam). Kritik dan Saran yang Membangun Akan Sangat Bermanfaat Bagi Penulis. Terima Kasih.