Berhubung hari ini 30 April merupakan hari tari dunia, maka admin kali ini ngeposting tentang beberapa tarian Indonesia. Berikut penjelasannya:
1. MADDUPPA BOSARA
(foto admin bersama teman SMA setelah mementaskan tari maduppa bosara di sekolah)
Tari Madduppa Bosara
sering ditarikan pada setiap acara penting untuk menyambut raja dengan suguhan kue-kue
sebanyak dua kasera. Tarian ini juga sering ditarikan saat menyambut tamu agung,
pesta adat dan pesta perkawinan. Ini menggambarkan
bahwa suku Bugis jika ke datangan tamu akan senantiasa menghidangkan bosara sebagai
tanda syukur dan penghormatan.
Budaya Bosara merupakan peninggalan budaya
khas Sulawesi Selatan dari jaman kerajaan dulu, khususnya kerajaan Gowa dan kerajaan
Bone, seiring perkembangan zaman tari
ini sudah sering dipertunjukkan oleh
masyarakat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Tari Madduppa Bosara kini
telah dimodernisasi oleh Andi Nurhani Sapada pada tahun 1961.
Pementasan :
1. Penari dan tempat
Ruangan seluas
6m x 6m untuk sebanyaknya 7 penari yang digunakan dalam pergelaran Tari Bosara.
2. Property
a. Bosara
Kata
bosara tidak terlepas dari kue-kue tradisional sebagai hal yang saling melengkapi.
Bosara merupakan piring khas suku Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan. Biasanya Bosara
diletakan ditengah meja dalam acara tertentu, terutama dalam acara tradisional
yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Bosara terbuat dari besi dengan tutupan seperti
kobokan besar, yang dibalut kain berwarna terang, yang diberi ornament kembang keemasan
di sekelilingnya.
Menyebut Bosara sebenarnya meliputi satu kesatuan
yaitu piring, yang diatasnya diberi alas kain rajutan dari wol, lalu diatasnya diletakan piring sebagai tempat
kue dan diberi penutup Bosara. Kue-kue yang biasanya disajikan dengan menggunakan bosara adalah
kue cucur, brongko, kue lapis, biji nangka dan sebagainya, yang umumnya terbuat
dari tepung beras. Dan berbagai kue kering seperti banag-banang, umba-umba,
rook-roko, dan berbagai macam kue putu. Kue tersebut biasanya disajikan dalam acara-acara
adat.
c.
Cucuru
Bayao
d.
Bannang
3.
Pakaian
a. Baju bodo
Adalah pakaian tradisional perempuan suku Bugis Makassar, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan
pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana
tertua di dunia.
Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang
dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya.
Warna
|
Arti
|
Jingga
|
|
Jingga dan merah
|
|
Merah
|
|
Putih
|
|
Hijau
|
|
Ungu
|
Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti
upacara pernikahan.Tetapi kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lainnya
seperti lomba menari atau menyambut tamu agung.
Dulu, baju bodo bisa dipakai tanpa penutup payu**ra.
Hal ini sudah sempat diperhatikan James Brooke (yang kemudian diangkat sultan Brunei menjadi
raja Sarawak) tahun 1840 saat dia mengunjungi istana Bone :
"Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana... Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki
dan baju tipis longgar dari kain muslin
(kasa), memperlihatkan payu**ra dan leluk-lekuk dada." Rupanya cara memakai baju bodo ini masih
berlaku pada tahun 1930-an.
2.
JARAN KEPANG
Indonesia dengan berbagai macam
suku yang telah memberikan kekayaan tak terkira. Hal ini diakui oleh
bangsa-bangsa di dunia. Salah satu kekayaan tersebut adalah tarian daerah.
Setiap daerah mempunyai jenis tarian yang berbeda sehingga jika dikumpulkan,
maka tarian tersebut adalah kekayaan budaya bangsa.
Jaran kepang adalah salah satu Tarian Daerah yang mempesona. Tarian ini
mempesona sebab diiringi oleh tetabuhan yang begitu rancak dan gerakan-gerakan
eksotis para penarinya. Gerakan penari begitu ritmis sehingga terjadi
sinkronisasi antara musik dan tarian. Dan, tarian daerah ini lebih menarik lagi
ketika para pemainnya mengalami ekstrance, kesurupan.
Kesurupan dalam tarian daerah ini merupakan bagian integral dari
pertunjukkan yang selalu ditunggu-tunggu para penonton. Pada saat inilah,
penari kehilangan kesadaran tetapi masih dapat komunikasi dengan tetabuhan
pengiring tarian. Walaupun mereka kehilangan kesadaran, tetapi gerakan tarian
mereka tetap rancak.
Bahkan, dengan kemampuan diluar kesadarannya, sang penari meminta pengrawit untuk
memainkan lagu yang diinginkannya.
Suara kendang yang bertalu
Dalam sebuah tarian daerah,
kendang memegang posisi yang sangat penting. Posisi tersebut terkait dengan
gerakan-gerakan penari dan kerancakan tetabuhan. Dengan suaranya yang khas, maka
kendang seakan seorang komandan yang mengarahkan kemana dan bagaimanamusik harus bertalu-talu. Kadang, musik
harus mengalir dengan ritme yang tinggi atau cepat, tapi kadang pelan dan
mendayu. Semua itu dibawah kendali kendang.
Hentakan kaki penari jaran kepang dalam tarian
daerah terlihat begitu kokoh, mantap karena suara kendang. Begitu juga ketika
gerakan ayunan tangan, terlihat begitu berisi saat suara kendang berbareng dengan ayunan
tangan atau selendang dan gerakan kepala.
Kendang memang sangat menentukan
kekompakan irama tetabuhan sehingga tanpa kendang, music kehilangan semangat.
Pada setiap kali awal
pertunjukkan tarian daerah, khususnya tarian jaran kepang, maka suara kendang
adalah sebuah panggilan
untuk semua orang. Suara kendang adalah pemberitahuan kepadamasyarakat bahwa pertunjukkan siap digelar.
Semakin keras suara kendang
ditabuh, semakin terpikat masyarakat dan ingin segera mendatangi kalangan
permainan dan, entah kenapa, semakin banyak penonton mengelilingi kalangan permainan tarian
daerah ini, suara kendang semakin rancak. Apalagi ketika suara terompet
terdengar melengking. Suasana magis tercipta dan membius semua orang untuk ikut
tenggelam dalam suasana yang penuh semangat.
Bau asap kemenyan yang menggoda
Salah satu hal paling khas dalam
pertunjukkan tarian daerah jaran kepang adalah bau kemenyan yang didapat dari
proses pembakaran. Butir-butir kemenyan dilemparkan ke dalam bara arang dan
dikipas secara terus menerus, maka asap yang membumbung menebarkan aroma
kemenyan ke segala penjuru di sekitar kalangan permainan.
Aroma kemenyan ini merupakan salah satu upaya
untuk menciptakan suasana yang lebih magis dalam pertunjukkan tarian daerah
ini. Seperti kita ketahui, aroma wangi yang menyebar dari hasil pembakaran
kemenyan dapat mendatangkan imej magis di dalam hati. Ketika kita membaui aroma
kemenyan, maka secara tidak sadar, bulu kuduk kita meremang, berdiri yang
menunjukkan awal ketakutan.
Aroma kemenyan memang identik
dengan sesuatu yang magis dan misteri. Dan. Tarian daerah jaran kepang memang
identik dengan magis dan misteri. Kita dapat melihat dari kondisi
mereka saat menari hingga mengalami ekstrance, kesurupan. Bagaimana seseorang
dapat kesurupan?
Tentunya kita merasa aneh ketika
melihat seseorang dapat mengalami "ekstrance" atau kesurupan ini.
Bagi kita ini sesuatu yang tidak
masuk akal. Tetapi dalam tarian daerah, khususnya jaran kepang, hal tersebut
terjadi secara nyata. Mereka tidak sedang mengada-ada. Segala yang terjadi pada
prosesi adalah nyata. Dan. Semua itu melalui media asap kemenyan.
Peranan Babok
Babok adalah seseorang yang dituakan
dalam kelompok tarian daerah jaran kepang yang mempunyai tugas untuk
menyembuhkan pemain yang sedang ekstrance, kesurupan. Dia bertugas untuk
mengembalikan ingatannya dan mengembalikan ‘sesuatu’ yang tadinya mengisi
kekosongan jiwa pemain. Untuk hal tersebut,
dibutuhkan kemampuan khusus untuk proses penyembuah ini.
Babok biasanya sekaligus adalah
pimpinan kelompok tarian daerah jaran kepang. Bahkan, tidak jarang babok adalah
pemilik kelompok tarian daerah ini. Babok inilah yang memimpin ritual pada saat pertunjukkan akan di
mulai. Dengan menerapkan beberapa mantera, babok ini terus membakar kemenyan
dan mengipasinya sehingga aromanya semakin tersebar.
Pada saat merapal manteri inilah,
sesungguhnya dia sedang memanggil arwah yang mau membantu kelancaran
pertunjukkan. Dan, diakhir pertunjukkan, babok harus mengembalikan arwah
tersebut untuk pulang, meninggalkan jasad para pemain yang kesurupan.
Tarian daerah jaran kepang memang
benar-benar sebuah tarian yang sangat mempesona. Setiap
orang yang menyaksikan pasti mengatakan menarik dan terpesona. Oleh karena
itulah, untuk menjaga eksistensinya, maka kita sebagai generasi penerus
seharusnya benar-benar menjaga agar tidak terbawa oleh perkembangan jaman.
3.
TARI SERAMPANG DUABELAS
Tari Serampang
Duabelas merupakan tarian tradisional Melayu yang berkembang di bawah
Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan
digubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960 Sebelum bernama Serampang
Duabelas, tarian ini bernama Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang
mengiringi tarian ini, yaitu lagu Pulau; Sinar, 2009: 48).
Sedikitnya ada dua
alasan mengapa nama Tari Pulau Sari diganti Serampang Duabelas. Pertama,
nama Pulau Sari kurang tepat karena tarian ini bertempo cepat (quick step).
Menurut Tengku Mira Sinar, nama tarian yang diawali kata “pulau” biasanya
bertempo rumba,seperti Tari Pulau Kampai dan Tari Pulau Putri.
Sedangkan Tari Serampang Duabelas memiliki gerakan bertempo cepat seperti Tari
Serampang Laut. Berdasarkan hal tersebut, Tari Pulau Sari lebih tepat disebut
Tari Serampang Duabelas. Nama duabelas sendiri berarti tarian dengan gerakan tercepat
di antara lagu yang bernama serampang (Sinar, 2009: 48). Kedua,
penamaan Tari Serampang Duabelas merujuk pada ragam gerak tarinya yang
berjumlah 12, yaitu: pertemuan pertama, cinta meresap, memendam cinta, menggila
mabuk kepayang, isyarat tanda cinta, balasan isyarat, menduga, masih belum
percaya, jawaban, pinang-meminang, mengantar pengantin, dan pertemuan kasih.
Menurut Tengku Mira
Sinar, tarian ini merupakan hasil perpaduan gerak antara tarian Portugis dan
Melayu Serdang. Pengaruh Portugis tersebut dapat dilihat pada keindahan gerak
tarinya dan kedinamisan irama musik pengiringnya.
Seni Budaya
Portugis memang mempengaruhi bangsa Melayu, terlihat dari gerak tari
tradisionalnya (Folklore) dan irama musik tari yang dinamis, dapat kita lihat
dari tarian Serampang XII yang iramanya tari lagu dua. Namun kecepatannya (2/4)
digandakan, gerakan kaki yang melompat-lompat dan lenggok badan serta tangan
yang lincah persis seperti tarian Portugis. Sebagai seorang penari tentu saya
takjub dengan adanya kaitan budaya antara kedua negara ini, dan sebagai puteri
Melayu Serdang, dalam khayalan saya bayangkan ketika guru Sauti menari di
hadapan Sultan Sulaiman di Istana Kota Galuh Perbaungan. Sungguh betapa cerdas
beliau dengan imajinasinya menggabungkan gerak tari Portugis dan Melayu
Serdang, sehingga tercipta tari Serampang XII yang terkenal di seluruh dunia
itu.
Tari Serampang Duabelas berkisah tentang cinta
suci dua anak manusia yang muncul sejak pandangan pertama dan diakhiri dengan
pernikahan yang direstui oleh kedua orang tua sang dara dan teruna.
Oleh karena menceritakan proses bertemunya dua hati tersebut, maka tarian ini
biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Namun demikian,
pada awal perkembangannya tarian ini hanya dibawakan oleh laki-laki karena
kondisi masyarakat pada waktu itu melarang perempuan tampil di depan umum,
apalagi memperlihatkan lenggak-lenggok tubuhnya.
Diperbolehkannya perempuan memainkan Tari
Serampang Duabelas ternyata berpengaruh positif terhadap perkembangan tarian ini.
Serampang Duabelas tidak hanya berkembang dan dikenal oleh masyarakat di
wilayah Kesultanan Serdang, tetapi juga menyebar ke berbagai daerah di
Indonesia, seperti Riau, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai ke Maluku.
Bahkan, tarian ini sering dipentaskan di manca negara, seperti Malaysia,
Singapura, Thailand, dan Hongkong.
4. TARI
TOROMPIO (SULAWESI TENGAH)
“Torompio”
adalah ungkapan dalam bahasa Pamona, Sulawesi Tengah. Ungkapan ini terdiri atas
dua kata, yakni “toro” yang berarti “berputar” dan “pio” yang
berarti “angin”.
Jadi, “torompio”
berarti “angin berputar”. Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah
“gelora cinta kasih” yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan gerakan
berputar-putar bagaikan insan yang sedang dilanda cinta kasih, sehingga tarian
ini disebut torompio.
Pengertian gelora cinta kasih sebenarnya bukan hanya untuk sepasang kekasih
yang sedang dimabuk cinta, melainkan juga untuk semua kehidupan, seperti: cinta
tanah air, cinta sesama umat, cinta kepada tamu-tamu (menghargai tamu-tamu) dan
lain sebagainya. Namun, yang lebih menonjol ialah cinta kasih antarsesama
remaja atau muda-mudi, sehingga tarian ini lebih dikenal sebagai tarian
muda-mudi. Torompio dalam
penampilannya sangat ditentukan oleh syair lagu pengiring yang dinyanyikan oleh
penari dan pengiring tari.
Tarian ini dahulu
ditarikan secara spontan oleh para remaja dengan jumlah yang tidak terbatas dan
dipergelarkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah atau tempat tertentu
yang agak luas. Para penontonnya muda-mudi yang berdiri dan membentuk
lingkaran, karena tari ini didominasi oleh komposisi lingkaran dan berbaris.
Peralatan dan
Busana
Peralatan musik
yang digunakan untuk mengiringi tari torompio diantaranya
adalah: (1)ganda (gendang); (2) nonggi (gong);
(3) karatu (gendang duduk); dan gitar. Sedangkan, busana yang dikenakan oleh penari perempuan adalah: (1) lemba (blus
berlengan pendek yang berhiaskan manik-manik); (2) topi mombulu (rok
bersusun); (3) tali bonto(ikat kepala yang terbuat dai teras bambu
dibungkus dengan kain merah sebesar 2 sampai 3 jari dan dihias dengan
manik-manik; dan (4) kalung yang terbuat dari sejenis tumbuhan siropu atau dari
batu. Sedangkan busana dan perlengkapan pada penari laki-laki adalah: (1) baju
banjara (baju seperti teluk belanga yang diberi hiasan dari
manik-manik); (2) salana (celana panjang yang berhias
manik-manik); (3) siga atau destar; dan (4) salempa (kain
untuk selempang).
Selain peralatan
musik dan busana bagi penarinya, tarian ini diiringi oleh beberapa buah lagu.
Salah satu lagu yang dahulu biasa dinyanyikan pada masa Orde Baru adalah laguWati Ndagia. Lagu ini berisi pesan pemerintah untuk menggiatkan
pembangunan. Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa syair yang
dilantunkan:
Tumpah darahku yang
kucintai tempat ibu bapaku dan aku dilahirkan. Poso Sulawesi Tengah sangat
subur indah permai. Danaunya yang elok indah menawan yang takan kulupakan.
Inilah kami
anak-anak dari seberang akan bermain khas daerah kami.
Pada pertemuan ini
begitu indah kita bernyanyi, bersyair dengan rasa yang sesungguhnya.
Pembangunan negara kita ini telah dirasakan sampai ke pedesaan. Wahai
teman-teman, kita seirama dalam pembangunan ini.
Serasi selaras
pertemuan kita ini melambangkan persatuan kita. Budaya yang datang dari luar datang
di negeri kita dan filter bagi bangsa kita adalah Pancasila.
Ingat wahai kawan,
tahun depan adalah pesta nasional kita perlihara keamanannya. Repelita adalah
perjuangan bangsa sama kita laksanakan. Hapuskan rongrongan baik dari luar
maupun dari dalam. Masyarakat adil dan makmur yang diimpikan bersama,
bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan adil dan makmur
yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini.
Kekuatan harapan bangsa melalui kerja keras jeli dalam tindakan agar nyata dan
tercapai cita-cita bangsa.
Dengan selesainya
permainan ini kami mohon diri sebab pertemuan yang begitu indah membuat kesan
yang tak terlupakan. Kalung kenangan akan kutinggalkan sebagai lambang
persatuan kita.
Selamat tinggal
wahai kawan, jangan lupa pesan pemerintah, sukseskan pembangunan di segala
bidang, (baik siang dan malam).
Pertunjukan Tari
Torompio
Pertunjukan
tari torompio diawali dengan gerakan linggi doe atau
panggilan buat para penari. Dalam linggi doe para penari akan
masuk ke pentas dari dua arah. Penari pria dari arah kiri dan wanita dari
kanan. Selanjutnya, mereka bertemu dalam satu barisan dan kemudian berpisah
membentuk satu baris memanjang untuk melakukan gerakan penghormatan. Setelah
itu, disusul dengan gerakan mantuju ada. Dalam gerakan ini penari
membentuk bulatan besar kemudian bulatan kecil, dengan maksud menyampaikan
pesan bahwa mereka anak-seberang akan mempertunjukkan taritorompio.
Setelah introduksi
selesai, maka tarian dilanjutkan dengan gerakan masinpanca, yaitu
para penari bertemu untuk mencari pasangan masing-masing sambil menyanyikan
lagu yang menceritakan indahnya pertemuan tersebut. Kemudian, penari pria akan
membuat gerakan-gerakan yang seakan merayu penari wanita. Gerakan ini
disebut mencolodi. Dalam mencolodi ini lagu yang
dibawakan syairnya menceritakan bahwa pertemuan antara penari pria dan wanita
melambangkan persatuan di antara mereka.
Setelah gerakan moncoldi selesai,
maka dilanjutkan dengan gerakan mompalakanamo dan mosangko
lima. Pada gerakan mompalakanamo penari
dalam posisi berhadapan sambil menyanyikan syair yang menceritakan pertemuan
ini sangat indah, berkesan dan tak dapat dilupakan. Sedangkan, gerakan
selanjutnya yaitu mosangko lima, penari pria menyematkan seuntai
kalung kepada penari wanita dan diteruskan dengan berjabat tangan sebagai
ungkapan eratnya persatuan. Kemudian, dilanjutkan dengan ucapan selamat tinggal
yang ditandai dengan lambaian tangan. Pada masa Orde Baru, saat melambaikan
tangan tersebut digunakan juga untuk menyampaikan pesan pemerintah kepada para
penonton, yang berisi tentang ajakan untuk mensukseskan pembangunan di segala
bidang.
5.
Tari Pakarena Makassar
Memang tak ada orang yang tahu persis sejarah Pakarena. Tapi dari
cerita-cerita lisan yang berkembang, tak diragukan lagi tarian ini adalah
ekspresi kesenian rakyat Gowa.
Menurut Munasih Nadjamuddin yang seniman Pakarena, tarian Pakarena
berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan
penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum
detik-detik perpisahan, boting langimengajarkan
penghuni linomengenai tata cara hidup, bercocok tanam,
beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki.
Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan
rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.
Sebagai seni yang
berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat
Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi kesenian istana pada masa
Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang
Sultan. Demikian juga saat seniman Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam
Kahar Muzakar karena dianggap bertentangan dengan Islam.
Namun begitu tragedi ini tidak menyurutkan hati masyarakat untuk
menggeluti aktifitas yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan yang
menghubungkan diri mereka dengan Yang Kuasa.
Belakangan ini tangan-tangan seniman kota dan birokrat pemerintah
daerah (pemda) telah menyulap Pakarena menjadi industri pariwisata. Dengan
bantuan tukang seniman standar estetika diciptakan melalui sanggar-sanggar agar
bisa dinikmatin orang luar. Untuk mendongkrak pendapatan daerah, alasannya. Sebagian seniman
mengikuti standar resmi dan memperoleh fasilitas pemda. Tapi sebagian seniman
lain enggan mengikuti karena dianggap tidak sesuai tradisi adat setempat,
meski menanggung resiko tidak memperoleh dana pembinaan pemda atau
tidak diundang dalam pertunjukan-pertunjukan.
Dg Mile (50 tahun), misalnya. Seniman Pakarena asal desa
Kalase’rena, Kec. Barang lompo ini tergolong teguh pendirian. Ia biasanya
mencari berbagai cara berkelit untuk tidak menghadiri undangan departemen
pariwisata. Kadang beralasan sedang ada acara ritual sendiri di kampungnya atau
menghadiri sunatan dan pengantin tetangganya, atau kalau pun tidak bisa menolak
maka ia akan menuntut syarat agar teman-temannya tidak terlantar usai
pertunjukan.
Cara lain yang agak berbeda ditunjukkan Sirajuddin Bantam. Anrong
guru Pakarena dari Gowa ini terang-terangan menolak tampil jika ada pejabat
yang mau mendikte tampilan penarinya. Bahkan saat diminta tampil, ia tidak
segan mempertanyakan lebih dulu keperluan pertunjukan itu dan sejauh mana
menguntungkan teman-temannya. Karena ia tahu ada jenis tarian yang bisa
dipertontonkan dan mana yang hanya bisa tampil di acara- acara tertentu.
Sirajuddin juga kadang ngibulin pejabat yang menuntut tampilan tertentu dengan tiba-tiba mengubah
sendiri skenario tarian di atas panggung.
Sikap yang ditempuh para seniman ini memang bukan tanpa resiko.
Mereka harus merawat tradisi Pakarena dengan hidup pas-pasan tanpa bantuan
pemerintah. Hanya dengan kreatifitas saja mereka bisa bersaing dengan seniman
kota yang menikmati fasilitas dan kesejahteraan jauh di atas rata-rata.
Kecerdikan ini misalnya dipunyai Sirajuddin dan Dg Mile.
Sirajuddin mendokumentasikan sendiri tarian Pakarena dan lalu memperkenalkannya
ke publik sampai mancanegara. Tentu saja dia dan para seniman kampung yang
bersamanya juga mengkreasi Pakarena ini. Tapi ia sungguh menyadari mana tarian
yang bisa dikreasi dan mana yang tidak. “Royong yang biasa dipakai ritual, tak perlu ditampilkan. Hanya pakarena Bone
Balla yang ditampilkan,” ujar pemilik sanggar tari
Sirajuddin ini, sembari menjelaskan bahwa Bone Ballabiasa
dipertontonkan kerajaan untuk menyambut para tamu.
Sementara itu, Dg Mile yang juga pemilik sanggar Tabbing Sualia ini lebih memilih tampil sendiri
tanpa bergantung sama pemda. Paling banter dia dan kelompoknya hanya mau tampil
bila bekerja sama dengan LSM tertentu yang peduli terhadap kesenian rakyat.
”Selama ini saya lebih suka main dengan Latar Nusa ketika mau menampilkan
kesenian Pakarena di dalam dan di luar negeri,” kata Dg Mile menyebut nama LSM
itu.
Begitulah, rupanya kaum seniman memiliki pengertian beda mengenai
Pakarena. Orang macam Dg Mile dan Sirajuddin menyadari, Pakarena yang
”dipasarkan” pemda selama ini cenderung terpisah dari kehidupan, tradisi, dan
makna yang diimajinasikan komunitas. Proses itu hanya menguntungkan seniman
kelas menengah di kota dan kepentingan tertentu di pemerintahan. Seperti
keinginan pemda mengubah pakaian penari tradisi di Sulsel agar sesuai dengan
norma agama tertentu.
Jelas ini melahirkan kerisauan. Dg Mile sampai-sampai menjelaskan
berulangkali kalau Pakarena tidaklah syirik karena ditujukan kepada Yang Kuasa.
Sirajuddin pun meminta agar para agamawan tidak menggunakan syariat yang
formalis saja dalam menilai kesenian, tapi menggunakan hakikat atau tarekat.
“Jika pemahaman mereka benar, tidak ada kesenian kita yang bertentangan dengan
agama,” ujar Sirajuddin, sambil mencontohkan istilahpassili dalam Pakarena yang berarti memerciki para seniman dan
peralatannya dengan sejumput air agar membawa keberuntungan, selaras dengan
agama. ”Lalu mana lagi yang harus diberi warna atau nuansa agama,” kata
Sirajuddin mengakhiri argumentasinya.
Kalau sudah begini, soalnya menjadi tergantung siapa yang
menafsir. Kebenaran kembali ada dalam keyakinan para penghayatnya. Bukan elit
agama atau birokrasi yang kerap memonopoli makna.
Sikap batinnya hening, penuh kelembutan, dedikatif, itulah kesan
yang tersirat dari gemulainya gerakan penari ini. Tari Pakarena yang dibawakan
penari ini adalah tarian kas masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap penari harus
melakukan upacara ritual adat yang disebut jajatang, dengan sesajian berupa
beras, kemeyan dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang
pertunjukan berlangsung.
Pakarena adalah
bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu
hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa
yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa.
Ini dulunya, pada upacara-upacara kerajaan Tari Pakarena ini
dipertunjukkan di Istana. Namun dalam perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih
memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas
menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan
hormat pada laki-laki terutama terhadap suami.
Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak
urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak.
Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai
sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap
bagian tarian.
Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan
pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan
berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama
kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka
matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat
terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu
sekitar dua jam.
Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus
mempersiapkan dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton
dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan
di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya.
Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit
pula yang kemudian enggan melanjutkannya saat memasuki jenjang pernikahan.
Namun tidak demikian halnya seorang Mak Joppong. Perempuan tua yang kini
usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena.
Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia
seorang empu Pakarena. Mak Joppong sampai sekarang masih bersedia memenuhi
undangan. Untuk tampil menarikan Pakarena yang digelutinya sejak usia 10 tahun
ini. Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh,
lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang mengambarkan kelembutan
perempuan Gowa.
Mak Joppong tak pernah mau ambil pusing dengan bayaran yang
diterimanya. Dedikasi penuh pada tarian ini, membuatnya rela menerima
seberapapun besarnya bayaran yang diberikan si pengundang.
Padahal selepas ditinggal suaminya wafat, kehidupannya
banyak bergantung pada kesenian yang telah lama diusungnya ini. Namun biasanya,
ia menerima bayaran sekitar 500 ribu hingga 1 juta rupiah, untuk tampil semalam
suntuk, termasuk biaya sewa pakaian dan alat-alat.
Tubuh yang sudah renta termakan usia. kulit yang semakin
keriput sejalan perjalanan hidup, tak membuatnya surut dalam berkarya bersama
Tari Pakarena. Bahkan untuk membagi kebisaan yang didapat dari ayahnya ini. Ia
sejak tahun 1978, mengajarkan Tari Pakarena kepada para gadis di kampungnya di
Desa Kambini, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa.
Di rumahnya, yang merupakan rumah panggung kas Gowa yang disebut
Balarate, para gadis melangkah, melengok, mengerakan tangannya mengikuti gerak
si empu Pakarena Mak Joppong.
Saat ini ada 6 gadis yang menjadi anak didiknya, dan tak
sepeserpun, Mak Joppong memunggut biaya. Tari Mak Joppong amat terasa sedih
disaat salah seorang anak didiknya memasuki jenjang pernikahan.
Karena biasanya, usai menikah, anak didiknya tak lagi
menekuni Tari Pakarena. Sebuah kebiasaan di Gowa, adalah hal yang tabu dan
malu, bila seorang perempuan yang telah menikah tampil di muka umum.
Pandangan umum inilah yang menyebabkan Tari Pakarena seolah
hanya selesai sampai di situ. Padahal tidak demikian buat Mak Joppong, Pakarena
adalah Tarian sakral yang tidak semua perempuan mampu menarikannya. Ketekunan
dan kesabaran menjadi modal utama buat Penari Pakarena. Itulah salah satunya
yang dimiliki Mak Joppong hingga kini.
Kini nasib Tari Pakarena seolah hanya bersandar pada Mak
Joppong semata. Selain hanya ia yang paham akan seluk beluk tarian ini, ia pula
lah yang tetap setia mengusung tari tradisional yang pernah jaya di masa
kerajaan Gowa dulu.
Penari Pakarena, begitu lembut mengerakan anggota tubuhnya.
Sebuah cerminan wanita Sulawesi Selatan. Sementara iringan tetabuhan yang
disebut Gandrang Pakarena, seolah mengalir sendiri. Hentakannya yang bergemuruh,
selintas tak seiring dengan gerakan penari. Gandrang Pakarena, adalah tampilan
kaum pria Sulawesi Selatan yang keras.
Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan
gelombang badai. Terang musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring
tarian. Ia juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat
Gandrang atau gendang yang ditabuh bertalu-talu ditimpahi tiupan tuip-tuip atau
seruling, para pasrak atau bambu belah dan gong, begitu mengoda penontonya.
Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya
dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan Gondrong Rinci. Pemain Gandrang
sangat berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan sepenuhnya
bergantung pada pukulan Gandrang. Karena itu, seorang pemain Gandrang harus
sadar bahwa ia adalah pemimpin dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.
Biasanya selain jenis pukulan untuk menjadi tanda irama
musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh Gandrang juga mengerakan tubuh
terutama kepalanya. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam petabuhan
Gandrang.
Yang pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gandrang
dengan menggunakan stik atau bambawa yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang
kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan.
Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah alat musik
tradisional Sulawesi Selatan ini, begitu berpengaruh kepada penonton. Mereka
begitu bersemangat, seakan tak ingat lagi waktu pertunjukan yang biasanya
berlangsung semalam suntuk.
Semangat inipula yang membuat para pemain musiknya semakin
menjadi. Waktu bergulir, hentakan Gandrang Pakarena terus terdengar. Namun
entah sampai kapan Gandrang Pakarena akan terus ada.
Nasibnya amat bergantung pada Tarian Pakarena sendiri yang
kini masa depannya seolah hanya berada di tangan Mak Joppong. Muda-mudahan
semangatnya tak akan pudar, seiring dengan irama musiknya yang mencerminkan
kerasnya lelaki Sulawesi Selatan.
6.
Tarian Molulo
Molulo adalah tarian pergaulan
Suku Tolaki yang dibawakan secara massal sambil bergandengan tangan membentuk
lingkaran besar. Filosofi tarian ini adalah ungkapan rasa syukur dari
masyarakat atas sesuatu keberhasilan yang dicapai yang sekaligus merupakan
ajang pertemuan muda mudi untuk saling menjejaki perasaan adanya benih-benih
cinta diantara mereka. Perserta tarian tidak mengenal tingkat dan golongan
dalam masyarakat, sehingga tarian ini pula disebut tarian rakyat.
Tarian Molulo dalam
perkembangannya hingga sekarang telah menjadi tarian daerah Sulawesi Tenggara
yang sangat digandrungi bukan saja oleh masyarakat Tolaki, akan tetapi juga
oleh suku-suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara. Karena sebagai tarian
pergaulan, siapa saja boleh ikut dalam tarian ini, termasuk Anda bila kebetulan
berkunjung di Sulawesi Tenggara.
Pada zaman dulu,
tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti : pernikahan, pesta
panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul
yaitu gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang
saling berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah
lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda
ukuran dan jenis suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong
sebagai alat musik pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat musik
modern yaitu “Electone”.
Adapun filosofi
tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku
Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali
persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan
membentuk sebuah lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun
golongan, siapa saja boleh turut serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua,
muda boleh bahkan jika anda bukan suku Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung
dalam tarian ini, yang penting adalah bisa mengikuti gerakan tarian ini.
Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi
telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Posisi tangan ini merupakan
simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan.
Yang terpenting
dari semua itu adalah arti dari tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa
masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan
persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya.
Seperti filosofi
masyarakat Tolaki yang diungkapkan dalam bentuk pepatah samaturu, medulu ronga
mepokoaso, yang berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya
masing-masing selalu bersatu, bekerja sama, saling tolong–menolong dan
bantu-membantu.
7. TARI SAMAN
Tari Saman adalah
salah satu tarian daerah Aceh yang paling terkenal saat ini. Tarian ini berasal
dari dataran tinggi Gayo. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk
merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain
itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi
Muhammad. Pada kenyataannya nama “Saman” diperoleh dari salah satu ulama besar
Aceh, Syech Saman.
Tari Saman biasanya
ditampilkan menggunakan iringan alat musik, berupa gendang dan menggunakan
suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan
dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan
menghempaskan badan ke berbagai arah.
Tarian ini dipandu
oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman formasi
dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka
para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang
serius agar dapat tampil dengan sempurna.
Tarian ini
dilakukan secara berkelompok, sambil bernyanyi dengan posisi duduk berlutut dan
berbanjar/bersaf tanpa menggunakan alat musik pengiring.
Karena kedinamisan geraknya, tarian ini banyak
dibawak/ditarikan oleh kaum pria, tetapi perkembangan sekarang tarian ini sudah
banyak ditarikan oleh penari wanita maupun campuran antara penari pria dan
penari wanita. Tarian ini ditarikan kurang lebih 10 orang, dengan rincian 8
penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.
Bagi para penikmat
seni tari, Saman menjadi salah satu primadona dalam pertunjukan. Dalam setiap
penampilannya, selain menyedot perhatian yang besar juga menyedot para penikmat
seni tari. Tarian Saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik, karena hanya
menampilkan gerak tepuk tangan dan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak
badan, kepala dan posisi badan. Keunikan lainnya terlihat dari posisi duduk
para penari dan goyangan badan yang dihentakkan ke kiri atau ke kanan, ketika
syair-syair dilagukan.
Tari ini biasanya
dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, tetapi jumlahnya harus ganjil.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, tarian ini dimainkan pula oleh kaum
perempuan atau campuran antara laki-laki dan perempuan. Dan tentunya dengan
modifikasi gerak lainnya. Saya kadang bertanya bagaimana orang sebanyak itu
bisa dengan serentak memainkan tarian yang memiliki kecepatan tinggi? Selain
latihan tentunya, pasti ada formasi tertentu dalam meletakkan tiap-tiap penari
itu sehingga kerapatan dan keseimbangan tarian terlihat harmonis dan dinamis.
Hampir semua tarian
Aceh dilakukan beramai-ramai. Ini memerlukan kerjasama dan saling percaya
antara syeikh (pemimpin dalam tarian) dengan para penarinya. Namun apa saja
unsur yang membuat tarian ini menjadi begitu indah dalam gerak, irama dan
kekompakan tidak banyak kita mengetahuinya.
Sekarang mari kita
mulai mengupas unsur pendukung dalam tari saman ini. Mungkin saat kita
mengetahui segala aspek yang terdapat dalam tarian ini, kita dapat lebih
Dalam penampilan
yang biasa saja (bukan pertandingan) dimana adanya keterbatasan waktu, Saman
bisa saja dimainkan oleh 10 - 12 penari, akan tetapi keutuhan Saman setidaknya
didukung 15 - 17 penari. Yang mempunyai fungsi sebagai berikut :
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
* Nomor 9 disebut
Pengangkat
Pengangkat
adalah tokoh utama (sejenis syekh dalam seudati) titik sentral dalam Saman,
yang menentukan gerak tari, level tari, syair-syair yang dikumandangkan maupun
syair-syair sebagai balasan terhadap serangan lawan main (Saman Jalu /
pertandingan)
* Nomor 8 dan 10 disebut
Pengapit
Pengapit
adalah tokoh pembantu pengangkat baik gerak tari maupun nyanyian/ vokal
* Nomor 2-7 dan 11-16
disebut Penyepit
Penyepit
adalah penari biasa yang mendukung tari atau gerak tari yang diarahkan
pengangkat. Selain sebagai penari juga berperan menyepit (menghimpit). Sehingga
kerapatan antara penari terjaga, sehingga penari menyatu tanpa antara dalam
posisi banjar/ bershaf (horizontal) untuk keutuhan dan keserempakan gerak.
* Nomor 1 dan 17 disebut
Penupang
Penupang
adalah penari yang paling ujung kanan-kiri dari barisan penari yang duduk
berbanjar. Penupang selain berperan sebagai bagian dari pendukung tari juga
berperan menupang/ menahan keutuhan posisi tari agar tetap rapat dan lurus.
Sehingga penupang disebut penamat kerpe jejerun (pemegang rumput jejerun).
Seakan-akan bertahan memperkokoh kedudukan dengan memgang rumput jejerun
(jejerun sejenis rumput yang akarnya kuat dan terhujam dalam, sukar di cabut.
Tari saman
ditarikan dalam posisi duduk. Termasuk dalam jenis kesenian ratoh duk (tari
duduk). Yang kelahirannya erat berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama
islam. Dimana posisi penari duduk berlutut, berat badan tertekan kepada kedua
telapak kaki. Pola ruang pada tari saman juga terbatas pada level, yakni
ketinggian posisi badan. Dari posisi duduk berlutut berubah ke posisi diatas
lutut (Gayo - berlembuku) yang merupakan level paling tinggi, sedang level yang
paling rendah adalah apabila penari membungkuk badan kedepan sampai 45o
(tungkuk) atau miring kebelakang sampai 60o (langat). Terkadang saat melakukan
gerakan tersebut disertai gerakan miring ke kanan atau ke kiri yang disebut
singkeh. Ada pula gerak badan dalam posisi duduk melenggang ke kanan-depan atau
kiri-belakang (lingang).
Selain posisi duduk
dan gerak badan, gerak tangan sangat dominan dalam tari saman. Karena dia
berfungsi sebagai gerak sekaligus musik. Ada yang disebut cerkop yaitu kedua
tangan berhimpit dan searah. Ada juga cilok, yaitu gerak ujung jari telunjuk
seakan mengambil sesuatu benda ringan seperti garam. Dan tepok yang dilakukan
dalam berbagai posisi (horizontal/ bolak-balik/ seperti baling-baling). Gerakan
kepala seperti mengangguk dalam tempo lamban sampai cepat (anguk) dan kepala
berputar seperti baling-baling (girek) juga merupakan ragam gerak saman.
Kesenyawaan semua unsur inilah yang menambah keindahan dan keharmonisan dalam
gerak tari saman.
Karena tari saman di mainkan tanpa alat musik,
maka sebagai pengiringnya di gunakan tangan dan badan. Ada beberapa cara untuk
mendapatkan bunyi-bunyian tersebut:
1. Tepukan kedua belah tangan.
Ini biasanya bertempo sedang sampai cepat
2. Pukulan kedua telapak
tangan ke dada. Biasanya bertempo cepat
3. Tepukan sebelah telapak
tangan ke dada. Umunya bertempo sedang
4. Gesekan ibu jari dengan
jari tengah tangan (kertip). Umunya bertempo sedang.
Dan nyanyian para penari menambah kedinamisan
dari tarian saman. Dimana cara menyanyikan lagu-lagu dalam tari saman dibagi
dalam 5 macam :
1. Rengum, yaitu auman yang
diawali oleh pengangkat.
2. Dering, yaitu regnum yang
segera diikuti oleh semua penari.
3. Redet, yaitu lagu singkat
dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
4. Syek, yaitu lagu yang
dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking,
biasanya sebagai tanda perubahan gerak
5. Saur, yaitu lagu yang
diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.
Dalam setiap
pertunjukan semuanya itu di sinergikan sehingga mengahasilkan suatu gerak
tarian yang mengagumkan. Jadi kekuatan tari Saman tidak hanya terletak pada
syairnya saja namun gerak yang kompak menjadi nilai lebih dalam tarian. Ini
boleh terwujud dari kepatuhan para penarinya dalam memainkan perannya
masing-masing.
Itulah sekelumit tentang fungsi formasi, jenis
gerak, asal musik pengiring serta nyanyian dalam pertunjukan tari Saman. Semoga
bermanfaat bagi anda dalam memahami tarian Saman.
Sedikit Sejarah
Tari Saman
Tari
ini berasal dari dataran tinggi tanah Gayo. Di ciptakan oleh seorang Ulama Aceh
bernama Syekh Saman. Pada mulanya tarian ini hanya merupakan permainan rakyat
biasa yang disebut Pok Ane. Melihat minat yang besar masyarakat Aceh pada kesenian
ini maka oleh Syekh disisipilah dengan syair-syair yang berisi Puji-pujian
kepada Allah SWT. Sehingga Saman menjadi media dakwah saat itu. Dahulu latihan
Saman dilakukan di bawah kolong Meunasah (sejenis surau, saat itu bangunan aceh
masih bangunan panggung). Sehingga mereka tidak akan ketinggalan untuk shalat
berjamaah.
8.
Tari Jaipong
Jaipongan adalah
sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal
Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah
Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola
gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu.
Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah
Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola
gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu.
Gerak-gerak bukaan,
pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas
cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini
dikenal dengan nama Jaipongan. Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil
dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat
digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar
Jawa Barat.
Jaipongan
sesungguhnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari tradisi Sunda
yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu
menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan
kendang.
Terutama pada
penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan
kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang
muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup
di tengah masyarakat.
Jaipongan adalah
sebuah fenomena menarik dan penting dalam perkembangan khazanah tari Sunda dan
itu tak hanya mendasar pada gagasan estetis yang diusungnya, melainkan juga
pada bagaimana kemudian tarian ini membuat fenomena tersendiri atas sambutan masyarakat
terhadapnya.
Akhir tahun 1970-an
sebagai awal kemunculannya Jaipongan langsung menjadi trend yang mencengangkan.
Tak hanya menjadi pentas "wajib" di panggung-panggung kawinan di rumah
penduduk, atau juga pentas 17 Agustusan, tapi juga bahkan sampai ke pentas yang
prestisius. Dari mulai hotel hingga atraksi pertunjukan seremonial besar
lainnya, bahkan juga melanglang buana ke berbagai negara sebagai misi kesenian.
3 komentar
semoga generasi muda seperti anda dapat melestarikan budaya kita. khusunya budaya sulawesi selatan. Siri' na pacce Salam dari blogger bantaeng. f4ndhy.blogspot.com
Replyamiien.. :)
Replyterima kasih..
jiwa patriot seperti ini yang harus dikembangkan oleh negri ini, ternyata kaum muda diindonesia tidak kalah dengan bangsa lain terutama dalam hal budaya..
ReplyPost a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda dengan Menggunakan Kata-kata yang Bijak dan Sopan (No Porno, No Iklan, No Spam). Kritik dan Saran yang Membangun Akan Sangat Bermanfaat Bagi Penulis. Terima Kasih.