Manusia purba yang hidup di gua
tentu tidak perlu banyak berhitung. Gua yang didiaminya telah disediakan oleh
alam, makanan mudah diperolehnya dari berbagai pohon dan tanaman, atau
diburunya dengan senjata yang sederhana. Tetapi, ketika mereka itu mulai
mengumpulkan binatang, apalagi sejak terjadinya hubungan kemasyarakatan, mereka
perlu mengetahui berapa milik seseorang dan beberapa pula milik tetangganya. Mungkin
orang dahulu hanya memerlukan pengertian seperti “ sedikit” dan “banyak”,
tetapi lama-kelamaan penyebutan jumlah yang lebih pasti diperlukan juga. Mulailah
orang belajar menghitung dan sejak itu bermulalah matematika.
Pada mulanya mungkin seorang
menghitung binatang yang digembalakannnya dengan meletakkan kerikil, atau
membuat simpul pada seutas tali, satu kerikil atau satu simpul untuk setiap
ekor. Kemudian mereka mungkin menggunakan sepuluh jari mereka. Jika kesepuluh
jari telah terpakai, sedangkan hitungan belum selesai, maka terlebih dahulu mereka
akan menaruh sebuah kerikil sebagai pengganti sepuluh jari lalu hitungan dilanjutkan
dengan menggunakan jari. Setiap kerikil dengan demikian melambangkan bilangan
10. Selanjutnya bila jumlah kerikil telah mencapai bilangan 100, kesepuluh kerikil
itu dapat diganti dengan sebuah batu.
Melihat perhitungan jari di atas
yang berhenti sejenak setiap kali mencapai jari kesepuluh, mungkin kita akan
mengatakan bahwa nenek moyang kita menggunakan bilangan dengan dasar sepuluh. Tetapi,
tidak semua manusia purba memakai dasar itu. Ada yang memakai dasar dua, karena
mereka hanya menggunakan dua lengannya sebagai alat penghitung. Ada yang
memakai jari dengan sebelah tangan saja, sehingga bilangan mereka berdasar
lima. Ada pula yang memakai dasar dua puluh karena jari kaki mereka ikut serta
dalam perhitungan.
Ketika tulisan mulai dikenal
orang, kayu, simpul, batu, dan alat penghitung lain semacam itu diganti dengan lambang
tertulis. Dalam sejarah tercatat bahwa bangsa Babilonia telah menggunakan
tulisan paku atau kuneiform, kurang lebih lima ribu tahun yang lalu. Mereka menorehkan
huruf yang berbentuk paku pada lempengan tanah liat.
Bangsa Mesir kuno memiliki dua
cara untuk melambangkan bilangan, yaitu menggunakan tulisan hieroglif dan
tulisan hieratik. Sistem hieroglif yang kurang praktis penulisannya,
dipakai dalam berbagai tugu atau obelisk untuk memperlihatkan keindahan
sedangkan sistem hieratik digunakan untuk keperluan
perhitungan sehari-hari.
Bangsa Yunani kuno mengembangkan
beberapa cara untuk menuliskan bilangan. Pada cara terakhir dan yang paling
banyak dipakai, digunakan huruf abjad dengan tiga lambang tambahan di
sampingnya. Setiap huruf melambangkan bilangan tertentu. Sembilan huruf pertama
melambangkan bilangan 1 sampai 9. Sembilan hruf berikutnya melambangkan
bilangan puluhan dari 10 sampai 90. Dan sembilan bilangan terakhir melambangkan
ratusan dari 100 sampai 900. Orang Yunani kuno tidak mempunyai lambang untuk
nol. Untuk menunjukkan angka ribuan mereka menambahkan sebuah garis miring
didepan huruf. Jika huruf r melambangkan 4, maka /r melambangkan 4.000.
Pada zaman dahulu di negeri Cina
dikenal pelambangan bilangan dengan garis menrut sistem tempat, seperti sistem yang
kita pakai sekarang. Maksudnya lambang yang sama mempunyai nilai yang berbeda
dengan tempat atau letaknya. Bilangan ratusan ditulis dengan lambang bilangan
satuan tetapi tempatnya tidak sama. Misalkan lambang III dapat menunjukkan
bilangan 3 maupun 300, bergantung pada tempatnya. Bilangan 3.333 misalnya,
dilambangkan dengan III III. Angka nol ditunjukkan
dengan ruangan kosong, seperti bilangan 3.003 dapat ditulis III.
Jika ruangan kosong tersebut ditiadakan tentulah maksudnya menjadi bilangan 33.
Bangsa Romawi kemudian
memperoleh sistem bilangannya dari bangsa Etruska, yakni penduduk Itali yang
terdahulu. Mereka juga menggunakan huruf untuk melambangkan bilangan. Angka
romawi ini masih sering kita jumpai dalam buku, misalnya untuk menandai bab.
Sistem yang kita pakai sekarang
atau yang lebih lazim disebut angka Arab sebenarnya berasal dari India, sebelum
awal tarikh masehi, yang kemudian dipungut oleh bangsa Arab. Ketika bangsa Arab
menaklukkan sebagian besar negeri Spanyol pada abad kedelapan. Mereka segera
memperkenalkan angka Arab di tanah jajahannya itu. Sistem itu lambat laun
diterima oleh orang Eropa dengan bukti adanya naskah Spanyol yang ditulis tahun
976.
Menjelang abad ke lima belas
barulah lambang bilangan menjadi seperti sekarang.
Dikutip dari saduran karangan Howard F.Fehr, "The Book of Popular Science"
3 komentar
nice pos sob kunjugan perdana salam kenal
Replyterima kasih kunjungannya :) dan salam kenal juga...
Replyblognya Bagus Leksono sudah saya follow kok,, klo tdk salah saya followers urutan ke-7 atas nama Annisa Wahyuni (o)
ReplyPost a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda dengan Menggunakan Kata-kata yang Bijak dan Sopan (No Porno, No Iklan, No Spam). Kritik dan Saran yang Membangun Akan Sangat Bermanfaat Bagi Penulis. Terima Kasih.