Dari Kerikil Sampai Ke Angka Arab

   
       Di salah sebuah museum di Oxfard , inggris, yakni “The Ashmolean Museum” terdapat sebuah tongkat kerajaan Mesir yang berusia lima ribu tahun lebih. Pada tongkat itu terlihat angka-angka yang cukup besar yaitu 120.000 tawanan, 400.000 sapi, serta 1.433.000 domba rampasan. Dari tongkat itu kita mendapat bukti bahwa pada zaman itu orang telah mengenal bilangan yang besar. Dengan kata lain orang sudah mulai menggunakan bilangan jauh sebelum zaman itu.
      Manusia purba yang hidup di gua tentu tidak perlu banyak berhitung. Gua yang didiaminya telah disediakan oleh alam, makanan mudah diperolehnya dari berbagai pohon dan tanaman, atau diburunya dengan senjata yang sederhana. Tetapi, ketika mereka itu mulai mengumpulkan binatang, apalagi sejak terjadinya hubungan kemasyarakatan, mereka perlu mengetahui berapa milik seseorang dan beberapa pula milik tetangganya. Mungkin orang dahulu hanya memerlukan pengertian seperti “ sedikit” dan “banyak”, tetapi lama-kelamaan penyebutan jumlah yang lebih pasti diperlukan juga. Mulailah orang belajar menghitung dan sejak itu bermulalah matematika.
    Pada mulanya mungkin seorang menghitung binatang yang digembalakannnya dengan meletakkan kerikil, atau membuat simpul pada seutas tali, satu kerikil atau satu simpul untuk setiap ekor. Kemudian mereka mungkin menggunakan sepuluh jari mereka. Jika kesepuluh jari telah terpakai, sedangkan hitungan belum selesai, maka terlebih dahulu mereka akan menaruh sebuah kerikil sebagai pengganti sepuluh jari lalu hitungan dilanjutkan dengan menggunakan jari. Setiap kerikil dengan demikian melambangkan bilangan 10. Selanjutnya bila jumlah kerikil telah mencapai bilangan 100, kesepuluh kerikil itu dapat diganti dengan sebuah batu.
       Melihat perhitungan jari di atas yang berhenti sejenak setiap kali mencapai jari kesepuluh, mungkin kita akan mengatakan bahwa nenek moyang kita menggunakan bilangan dengan dasar sepuluh. Tetapi, tidak semua manusia purba memakai dasar itu. Ada yang memakai dasar dua, karena mereka hanya menggunakan dua lengannya sebagai alat penghitung. Ada yang memakai jari dengan sebelah tangan saja, sehingga bilangan mereka berdasar lima. Ada pula yang memakai dasar dua puluh karena jari kaki mereka ikut serta dalam perhitungan.
       Ketika tulisan mulai dikenal orang, kayu, simpul, batu, dan alat penghitung lain semacam itu diganti dengan lambang tertulis. Dalam sejarah tercatat bahwa bangsa Babilonia telah menggunakan tulisan paku atau kuneiform, kurang lebih lima ribu tahun yang lalu. Mereka menorehkan huruf yang berbentuk paku pada lempengan tanah liat.

        Bangsa Mesir kuno memiliki dua cara untuk melambangkan bilangan, yaitu menggunakan tulisan hieroglif dan tulisan hieratik. Sistem hieroglif yang kurang praktis penulisannya, dipakai dalam berbagai tugu atau obelisk untuk memperlihatkan keindahan sedangkan sistem hieratik digunakan untuk keperluan perhitungan sehari-hari.
      Bangsa Yunani kuno mengembangkan beberapa cara untuk menuliskan bilangan. Pada cara terakhir dan yang paling banyak dipakai, digunakan huruf abjad dengan tiga lambang tambahan di sampingnya. Setiap huruf melambangkan bilangan tertentu. Sembilan huruf pertama melambangkan bilangan 1 sampai 9. Sembilan hruf berikutnya melambangkan bilangan puluhan dari 10 sampai 90. Dan sembilan bilangan terakhir melambangkan ratusan dari 100 sampai 900. Orang Yunani kuno tidak mempunyai lambang untuk nol. Untuk menunjukkan angka ribuan mereka menambahkan sebuah garis miring didepan huruf. Jika huruf r melambangkan 4, maka /r melambangkan 4.000.
        Pada zaman dahulu di negeri Cina dikenal pelambangan bilangan dengan garis menrut sistem tempat, seperti sistem yang kita pakai sekarang. Maksudnya lambang yang sama mempunyai nilai yang berbeda dengan tempat atau letaknya. Bilangan ratusan ditulis dengan lambang bilangan satuan tetapi tempatnya tidak sama. Misalkan lambang III dapat menunjukkan bilangan 3 maupun 300, bergantung pada tempatnya. Bilangan 3.333 misalnya, dilambangkan dengan  III  III. Angka nol ditunjukkan dengan ruangan kosong, seperti bilangan 3.003 dapat ditulis       III. Jika ruangan kosong tersebut ditiadakan tentulah maksudnya menjadi bilangan 33.
          Bangsa Romawi kemudian memperoleh sistem bilangannya dari bangsa Etruska, yakni penduduk Itali yang terdahulu. Mereka juga menggunakan huruf untuk melambangkan bilangan. Angka romawi ini masih sering kita jumpai dalam buku, misalnya untuk menandai bab.
         Sistem yang kita pakai sekarang atau yang lebih lazim disebut angka Arab sebenarnya berasal dari India, sebelum awal tarikh masehi, yang kemudian dipungut oleh bangsa Arab. Ketika bangsa Arab menaklukkan sebagian besar negeri Spanyol pada abad kedelapan. Mereka segera memperkenalkan angka Arab di tanah jajahannya itu. Sistem itu lambat laun diterima oleh orang Eropa dengan bukti adanya naskah Spanyol yang ditulis tahun 976.


                Menjelang abad ke lima belas barulah lambang bilangan menjadi seperti sekarang.
Dikutip dari saduran karangan Howard F.Fehr, "The Book of Popular Science"

4 komentar

wah neng nisa blom follo blog ane

Reply

nice pos sob kunjugan perdana salam kenal

Reply

terima kasih kunjungannya :) dan salam kenal juga...

Reply

blognya Bagus Leksono sudah saya follow kok,, klo tdk salah saya followers urutan ke-7 atas nama Annisa Wahyuni (o)

Reply

Post a Comment

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda dengan Menggunakan Kata-kata yang Bijak dan Sopan (No Porno, No Iklan, No Spam). Kritik dan Saran yang Membangun Akan Sangat Bermanfaat Bagi Penulis. Terima Kasih.